Pernah menonton jathilan? Tarian yang sering disebut dengan kuda lumping atau kuda kepang ini cukup populer di Pulau Jawa, bahkan kesenian jathilan juga ada di luar Pulau Jawa karena dibawa oleh para transmigran yang berasal dari Jawa. Yang menarik dari pertunjukan ini adalah sang penari bisa sampai kesurupan atau kerasukan makhluk halus kemudian makan beling (pecahan kaca), bara api, bunga, dupa, dll. Istilah jathilan berasal dari bahasa jawa “jan” yang artinya “benar-benar” dan “thil-thilan” yang artinya “banyak gerak dan tak beraturan”.
|
Sang Pawang Beraksi |
Kesenian yang menggunakan properti berupa kuda-kudaan dari anyaman bambu ini memiliki beberapa versi sejarah. Ada yang menyebutkan bahwa kesenian ini merupakan bentuk apresiasi dan dukungan rakyat jelata terhadap perjuangan pasukan berkuda pangeran Diponegoro dalam melawan penjajah Belanda. Ada juga yang beranggapan bahwa jathilan menggambarkan kisah Raden Patah yang dibantu oleh Sunan Kalijaga dalam melawan Belanda. Versi yang lain lagi mengatakan jathilan mengisahkan latihan pasukan prajurit kerajaan Mataram yang dipimpin Sultan Hamengku Buwono I untuk melawan Belanda. Persamaan dari semua versi tersebut adalah jathilan menceritakan perjuangan bangsa Indonesia dalam melawan penjajah Belanda.
Pertunjukan ini dimulai dengan tarian yang gerakannya pelan-pelan, kemudian semakin lama semakin cepat mengikuti irama musik yang pada akhirnya para penari akan kesurupan (ndadi). Musik pengiring tari jathilan terdiri dari berbagai alat musik tradisional seperti kendang, kenong, dan gong yang dikolaborasikan dengan alat musik modern seperti drum, keyboard, ketipung (jathilan kreasi baru).