Minggu, 13 April 2014

Pemaknaan Ritual dan Sesaji Dalam Seni Tari Jathilan

Pemaknaan Ritual dan Sesaji Dalam Seni Tari Jathilan
Oleh: Fajar Prasetya Nugroho





Ritual adalah teknik (cara, metode) membuat suatu adat kebiasaan menjadi suci (sanctify the custom). Ritual menciptakan dan memelihara mitos, juga adat sosial dan agama. Ritual bisa pribadi atau berkelompok. Wujudnya bisa berupa doa, tarian, drama, kata-kata seperti "amin" dan sebagainya. Ritual juga dapat diartikan sebagai serangkaian kegiatan yang dilaksanakan terutama untuk tujuan simbolis. Ritual dilaksanakan berdasarkan suatu agama atau bisa juga berdasarkan tradisi dari suatu komunitas tertentu. Kegiatan-kegiatan dalam ritual biasanya sudah diatur dan ditentukan, dan tidak dapat dilaksanakan secara sembarangan.

Ada kesalahan pemaknaan ritual oleh sebagian besar masyarakat. Ada yang menganggap ritual itu musyrik karena memuja setan, ada juga yang menganggap ritual itu bid'ah. Ritual yang dilakukan dalam sebuah pementasan seni pertunjukan tradisional seperti pada pertunjukan Jathilan, sejatinya merupakan adat/tradisi orang Jawa dan memang tidak ada tuntunannya dalam agama. Karena ritual sendiri itu adalah doa. Adakah tuntuan dalam agama (Islam) yang mengatur saat kita berdoa (bukan sholat) harus begini atau begitu, apakah harus berada dalam tempat tertentu, posisi tertentu, gerakan tertentu, dan lain sebagainya? Memang nyatanya tidak ada tuntunan wajibnya, kita boleh berdoa dimanapun, kapanpun saja, dengan posisi dan keadaan seperti apapun, karena sesungguhnya Tuhan itu Maha Mengetahui hati umatnya yang mempunyai niat baik atau jelek. Jadi, ritual itu merupakan suatu cara berdoa yang dilakukan oleh orang Jawa, yang intinya tetap memohon kepada Sang Pencipta, bukan memohon kepada makhluk jin. Dalam pertunjukan seni tari Jathilan sendiri, ritual berfungsi untuk memohon keselamatan serta kelancaran kepada Yang Maha Kuasa pada saat pentas berlangsung.

Sesaji (sesajen) pada dasarnya adalah sebuah simbol-simbol orang Jawa mengenai kehidupan, dan hubungan manusia dengan Tuhannya yang tertuang dalam berbagai makanan yang dikombinasikan sedemikian rupa antara satu sama lain. Sesaji dan ritual biasanya dilakukan beriringan karena keduanya mempunyai keterkaitan. Sesaji dan ritual disandingkan bersama, agar saat dalam kita berdoa (ritual) akan senantiasa ingat tentang asal usul kita dan hakekat hidup manusia.

Lantas bagaimana dengan kesurupan yang sering dialami penari Jathilan? Sebenarnya lebih tepat disebut kondisi alam bawah sadar. Pada titik frekuensi tertentu seseorang akan mengalami "trance" masuk ke dalam alam bawah sadarnya. Disinilah tugas sang pawang untuk membawa para penari Jathilan ke dalam frekuensi "trance" itu, yang disebut "ndadi" dalam bahasa Jawa. Pawang akan menyebarkan bunga ke arah para penari Jathilan, seiringan dengan itu para penari akan "ndadi". Bunga hanya merupakan simbol dan sarana pemeriah. Sesaji yang biasanya dimakan para penari tentu saja akan masuk ke dalam perut penari, bukan dimakan oleh jin. Kemudian setelah usai pementasan, para penari dikembalikan ke dalam frekuensi normal (kondisi sadar). Tapi selayaknya sebagai umat Islam, kami percaya dengan keberadaan makhluk selain manusia yang tak kasat mata (jin). Jika kita tidak mempercayai keberadaan mereka, maka kita sudah bisa dikatakan murtad karena di dalam Al-Qur'an diterangkan adanya penciptaan jin.

Kesimpulannya ritual dan sesaji jika dilakukan dengan tujuan yang benar menurut aqidah yang benar itu sama sekali tidak musyrik dan bukan merupakan bid'ah. Jika ada yang orang yang melakukan ritual dan sesaji melenceng dari pernyataan diatas (tidak sesuai tujuan diatas) itu hanyalah oknum-oknum yang keliru.

1 komentar: