Minggu, 13 April 2014

Lebih Mengutamakan Seni daripada Ndadi



Jathilan kini dengan Jathilan dulu sudah berbeda jauh. Kalau dulu tari Jathilan lebih menonjolkan atraksi kesurupannya, Jathilan masa kini lebih mengutamakan garapan tari dan iringannya. Banyak siswa dari Sekolah Menengah Karawitan Indonesia Yogyakarta atau (SMK N 1 Kasihan) dan mahasiswa dari Institut Seni Indonesia Yogyakarta yang mulai menggarap tari Jathilan. Mulai dari konsep penataan iringan dan gerak yang lebih indah hingga sampai ke taraf sendratari. Hal ini beralasan karena partisipasi atau minat masyarakat untuk seni Jathilan cukup tinggi, hampir di setiap dusun memiliki kelompok kesenian Jathilan.

Kami mulai memikirkan bagaimana Jathilan harus berkembang dan ingin merubah citra Jathilan yang tidak hanya identik dengan kesurupan saja. Hal itulah yang menjadi dasar semangat kami untuk menggarap Laras Kridho Manunggal ke dalam konsep sendratari yang sudah kami realisasikan pada Festival Kuda Lumping di SAC Kutoarjo bulan November tahun 2013. Dalam festival itu kami mengisahkan pertempuran antara para prajurit Kelana Jayeng Kusuma melawan wadya gandharwa di hutan belantara. Iringan kami buat dengan menampilkan gendhing-gendhing karawitan, begitu juga gerak tarinya yang kami garap dengan apik dan rapi, dengan tidak meninggalkan pakem Jathilan.

Saat ini kami terus menyempurnakan garapan tari dan iringan yang selalu kami lakukan dalam latihan rutin setiap malam minggu di basecamp kami. Pengetahuan kami yang kami dapat melalui relasi dengan para seniman, yaitu teman-teman kami sendiri yang menempuh pendidikan di ISI Yogyakarta, kami satukan menjadi sebuah bentuk tari dan iringan.

Pemaknaan Ritual dan Sesaji Dalam Seni Tari Jathilan

Pemaknaan Ritual dan Sesaji Dalam Seni Tari Jathilan
Oleh: Fajar Prasetya Nugroho





Ritual adalah teknik (cara, metode) membuat suatu adat kebiasaan menjadi suci (sanctify the custom). Ritual menciptakan dan memelihara mitos, juga adat sosial dan agama. Ritual bisa pribadi atau berkelompok. Wujudnya bisa berupa doa, tarian, drama, kata-kata seperti "amin" dan sebagainya. Ritual juga dapat diartikan sebagai serangkaian kegiatan yang dilaksanakan terutama untuk tujuan simbolis. Ritual dilaksanakan berdasarkan suatu agama atau bisa juga berdasarkan tradisi dari suatu komunitas tertentu. Kegiatan-kegiatan dalam ritual biasanya sudah diatur dan ditentukan, dan tidak dapat dilaksanakan secara sembarangan.

Ada kesalahan pemaknaan ritual oleh sebagian besar masyarakat. Ada yang menganggap ritual itu musyrik karena memuja setan, ada juga yang menganggap ritual itu bid'ah. Ritual yang dilakukan dalam sebuah pementasan seni pertunjukan tradisional seperti pada pertunjukan Jathilan, sejatinya merupakan adat/tradisi orang Jawa dan memang tidak ada tuntunannya dalam agama. Karena ritual sendiri itu adalah doa. Adakah tuntuan dalam agama (Islam) yang mengatur saat kita berdoa (bukan sholat) harus begini atau begitu, apakah harus berada dalam tempat tertentu, posisi tertentu, gerakan tertentu, dan lain sebagainya? Memang nyatanya tidak ada tuntunan wajibnya, kita boleh berdoa dimanapun, kapanpun saja, dengan posisi dan keadaan seperti apapun, karena sesungguhnya Tuhan itu Maha Mengetahui hati umatnya yang mempunyai niat baik atau jelek. Jadi, ritual itu merupakan suatu cara berdoa yang dilakukan oleh orang Jawa, yang intinya tetap memohon kepada Sang Pencipta, bukan memohon kepada makhluk jin. Dalam pertunjukan seni tari Jathilan sendiri, ritual berfungsi untuk memohon keselamatan serta kelancaran kepada Yang Maha Kuasa pada saat pentas berlangsung.

Sesaji (sesajen) pada dasarnya adalah sebuah simbol-simbol orang Jawa mengenai kehidupan, dan hubungan manusia dengan Tuhannya yang tertuang dalam berbagai makanan yang dikombinasikan sedemikian rupa antara satu sama lain. Sesaji dan ritual biasanya dilakukan beriringan karena keduanya mempunyai keterkaitan. Sesaji dan ritual disandingkan bersama, agar saat dalam kita berdoa (ritual) akan senantiasa ingat tentang asal usul kita dan hakekat hidup manusia.

Lantas bagaimana dengan kesurupan yang sering dialami penari Jathilan? Sebenarnya lebih tepat disebut kondisi alam bawah sadar. Pada titik frekuensi tertentu seseorang akan mengalami "trance" masuk ke dalam alam bawah sadarnya. Disinilah tugas sang pawang untuk membawa para penari Jathilan ke dalam frekuensi "trance" itu, yang disebut "ndadi" dalam bahasa Jawa. Pawang akan menyebarkan bunga ke arah para penari Jathilan, seiringan dengan itu para penari akan "ndadi". Bunga hanya merupakan simbol dan sarana pemeriah. Sesaji yang biasanya dimakan para penari tentu saja akan masuk ke dalam perut penari, bukan dimakan oleh jin. Kemudian setelah usai pementasan, para penari dikembalikan ke dalam frekuensi normal (kondisi sadar). Tapi selayaknya sebagai umat Islam, kami percaya dengan keberadaan makhluk selain manusia yang tak kasat mata (jin). Jika kita tidak mempercayai keberadaan mereka, maka kita sudah bisa dikatakan murtad karena di dalam Al-Qur'an diterangkan adanya penciptaan jin.

Kesimpulannya ritual dan sesaji jika dilakukan dengan tujuan yang benar menurut aqidah yang benar itu sama sekali tidak musyrik dan bukan merupakan bid'ah. Jika ada yang orang yang melakukan ritual dan sesaji melenceng dari pernyataan diatas (tidak sesuai tujuan diatas) itu hanyalah oknum-oknum yang keliru.

Fungsi Seni Pertunjukan Tradisional di Masyarakat

Membicarakan keberadaan seni pertunjukan tradisional pada saat ini sangat memprihatinkan. Sebab banyak sekali kita baca atau kita amati sendiri, keberadaan seni pertunjukan tradisional sangat mengenaskan. Dalam arti bahwa, dengan derasnya berbagai sarana komunikasi maupun informasi ternyata cukup besar pengaruhnya terhadap keberadaan seni pertunjukan tradisional. Grup-grup kesenian tradisional mulai menghilang, karena tiadanya faktor penyangganya baik dalam bentuk dana, kamampuan ataupun regenerasinya. Oleh karena itu, mereka tidak dapat bersaing dengan munculnya bentuk-bentuk kesenian modern yang lebih diminati oleh masyarakat sekarang. Sehingga dengan demikian bila seni pertunjukan tradisional itu dirasa sudah “tidak berfungsi", dengan sendirinya keberadaannya akan menghilang dari masyarakat pendukungnya. bahwa pada dasarnya seni pertunjukan tardisional secara umum mempunyai empat fungsi utama yaitu:

  1. Fungsi ritual 
  2. Fungsi pendidikan sebagai media penuntun 
  3. Fungsi/media penerangan atau kritik sosial 
  4. Fungsi hiburan atau tontonan 

1. Fungsi ritual

Pada awal tumbuhnya seni tradisi bermula dari adanya keperluan-keperluan ritual. Seni yang dimunculkan biasanya dianalogikan dalam suatu gerak, suara, ataupun tindakan-tindakan tertentu dalam suatu upacara ritual.maksudnya adalah sebagai ungkapan atau simbol untuk berkomunikasi.

Dalam perkembangan selanjutnya, dewasa ini seni pertunjukan tradisional juga masih dapat memperlihatkan fungsinya secara ritual. Untuk memenuhi fungsi secara ritual ini, seni pertunjukan yang ditampilkan biasanya masih tetap berpijak kepada aturan-aturan tradisi yang berlaku. Sebagai contohnya seni pertunjukan tradisional yang berfungsi sebagai sarana ritual juga terletak pada penciptaan tari Bedhaya Ketawang, yang dipertunjukan bagi penobatan Raja naik tahta. Di istana Kraton Kasultanan Yogyakarta maupun di Kasunanan Surakarta, tari ini dipercaya bahwa Bedhaya Ketawang diilhami oleh Kanjeng Ratu Kidul. Tarian ini dimainkan oleh 9 orang putri yang masih suci (belum haid) dan sebelum menarikannya harus menjalani masa pingitan. Bedhaya sendiri secara tradisional tampil dalam kelompok sembilan. Busana dan hiasannya adalah busana dari pengantin putri. Musik dan nyanyian yang mengiringinya sangat lambat, teks nyanyiannya diangggap begitu suci, bahkan transkripnya dihindari karena takut akan kesalahan. Contoh lain, terdapat pada pertunjunkkan tari Jathilan, sebuah seni pertunjukkan yang berasal dan berada di masyarakat. Dalam pementasan biasanya sang pawang Jathilan akan melakukan ritual untuk meminta kelancaran pada saat pentas kepada Sang Maha Kuasa.


2. Fungsi pendidikan sebagai media penuntun

Salah satu fungsi dari seni pertunjukan tradisional yang tidak kalah pentingnya adalah berfungsi sebagai media pendidikan atau sebagai tuntunan bagi para penonton yang menikmatinya. Di dalam setiap pementasan seni pertunjukan tradisional, pada intinya para seniman yang melakukannya mempunyai misi yang ingin disampaikan kepada para penontonnya. Misi yang akan disampaikan itu bisa melalui dialognya ataupun melalui gerakan apabila itu berupa tarian.

Sebagai media pendidikan melalui transformasi nilai-nilai budaya yang ada di dalam seni pertunjukan tradisional tersebut, maka seorang seniman betul-betul dituntut untuk dapat berperan semaksimal mungkin atas peran yang diembannya. Seni pertunjukan tradisional sebagai media pendidikan sebenarnya sudah terkandung pada hakekat seni pertunjukan itu snediri, dalam perwatakan tokoh-tokohnya, serta dalam ceritera yang secra utuh. Memang kadang kala hakekat seni pertunjukan tradisional diakui agak rumit dimengerti (dialog-dialognya atau ceritera-ceriteranya) terutama bagi generasi muda.


3. Fungsi/media penerangan atau kritik sosial

Dalam masa pembangunan seperti sekarang ini, seni pertunjukan tradisional juga cukup efektif untuk menyampaikan pesan-pesan pembangunan, khususnya bagi masyarakat pedesaan atau masyarakat pada umumnya. Pesan yang ingin disampaikan dapat dilakukan melalui tokoh Punakawan pada seni pertunjukan wayang orang. Punakawan inilah yang mengggambarkan figur-figur rakyat, sehingga kritik-kritik sosial ataupun media penerangnan disampaikan melalui mereka diharapkan para penonton akan lebih mudah menangkap dan mencernanya.

Pesan-pesan pembangunan yang ingin disampaikannya bisa berbagai macam topik sesuai dengan keinginannya. Bila topik-topik sekitar kepahlawanan, kebersamaan, kesetiaan, kepatuhan, bahkan dapat pula berupa kritikan sosial yang cenderung banyak dilakukan oleh masyarakat pada masa kini. Permasalahan yang timbul sekarang adalah bagaimana agar seni pertunjukan tradisional itu tetap disukai oleh masyarakat, sehingga fungsinya sebagai media penerangan serta sebagai media untuk mengungkapkan kritik sosial dapat terwujud.

Sebagai media untuk penyampaian kritik sosial, memang dengan bentuk kesenian tradisional sungguh tepat. Masyarakat Indonesia yang menganut paham paternalistik tentu tabu apabila akan mengkritik seseorang secara langsung, apabila kalau orang yang dikritik itu adalah pemimpinnya, atasannya, ataupun saudaranya, atau juga kondisi negara pada saat ini. Media yang sangat tepat untuk menyindir melalui tokoh-tokoh yang diperankan ataupun melalui dialog-dialog tertentu.


4. Fungsi hiburan atau tontonan

Fungsi seni pertunjukan tradisional sebagai sarana hiburan atau tontonan sudah jelas. Biasanya penonton melihat kesenian bertujuan untuk mencari hiburan, melepas lelah, menghilangkan stres dan bersantai ria. Seni pertunjukan tradisional seperti wayang orang sebagai sarana hiburan biasanya pertunjukan begitu lepas dan tidak dikaitkan dengan pelaksanaan upacara ritual. Pertunjukan ini diselenggarakan untuk memperingati peristiwa atau sebagai sarana hiburan dalam suatu keperluan. Namun demekian pemilihan lakon disesuaikan dengan peristiwa yang diperingati.

Sebagai dampak negatif yang ditimbulkan dari pementasan seni pertunjukan tradisional adalah dijadikannya pementasan kesenian ini sebagai arena perjudian, arena mabuk-mabukan bahkan tidak sedikit yang mengakibatkan timbulnya perkelahian. Melihat kondisi itu, bila dilihat dari fungsi seni pertunjukan tradisional sebagai sarana hiburan memang tidak salah. Oleh karena pada intinya penonton datang melihat seni pertunjukan tradisional adalah mencari hiburan, mencari kesenangan, mehilangkan stress dan mehilangkan kesedihan.

Beberapa media massa pada akhir-akhir ini mengulas keberadaan seni tradisi yang semakin memprihatinkan keberadaannya. Disamping mengulas tentang senimannya yang semakin memelas kehidupannya, ternyata panggung-panggung hiburan tempat seni tradisi ini pentaspun juga semakin banyak yang ditutup, gulung tikar tidak beroperasi lagi.

Di sisi lain, para seniamanpun sudah semakin kehilangan akan jati diri sebagai seniman. Oleh karena paling tidak mereka dituntut untuk lebih berkreasi maupun bermotivasi dalam upaya menyiasati era global ini, agar kesenian tradisional tetap dapat bertahan hidup. Keberadaan seni tradisional ternyata sangat ditentukan oleh dua hal yang penting yaitu:
  1. Faktor senimannya pekerja seni/pelaku seni) 
  2. Kepedulian masyarakat pendukungnya. 


1. Faktor Seniman (pelaku seni)

Seniman adalah seseorang yang sepenuhnya kehidupannya dicurahkan kepada salah satu bentuk kesenian. Profesi seniman diperoleh seseorang dapat melalui bakat, dalam hal ii karena faktor keturunan dan dapat pula karena atau melalui sosialisasi. Keberadaan seniman seni tradisi pada saat ini memprihatinkan . mereka kurang dihargai atau kurang memperoleh perhatian di masyarakat maupun pemerintah. Pekerja seni dianggap sebagai yang diremehkan, dan kurang dapat menjanjikan untuk kelangsungan hidup seseorang.

Menurut beberapa ahli seni, para pekerja seni sebagai ternyata dewasa ini orientasinya para seniman ada kecenderungan berorientasi kepada seni sebagai pencaharian lahan hidup. Degan demikian berbagai macam jalan ditempuh, asalkan mendapatkan/mendatangkan uang. Mental komersial yang selalu berorientasi kepada uang ternyata juga telah memasuki para seniman muda, bahkan telah berpendidikan tinggi sekalipun. Alasan utama penyebabnya adalah ternyata mereka telah berorientasi komersial, sehingga berpengaruh pula terhadap ekspresi tariannya yang asal-asalan saja. Ataupun dapat pula disebabkan mereka telah berstatus pegawai negeri. Mereka akan tampil baik atau burukj tetap menerima gaji, hak seperti itu yang tidak mengacu kreatifitasnya.

Tantangan keberadaan seniman seni tradisi dalam menatap masa depan sebenarnya cukup berat. Sebab mereka harus benar-benar dapat bersaing dengan jenis kesenian modern maupun kontemporer yang telah banyak tampil bahkan merajai layar kaca. Para seniman seni tradisi hendaknya akan selalu tanggap terhadap perubahan lingkungannya, sehingga dapat membuat terobosan-terobosan baru tanpa meninggalkan pakem. Memang, untuk dapat merubah orientasi para senimannya yang terlanjur bersifat komersial memang cukup sulit dan butuh proses. Oleh sebab itu, keterlibatan pemerintah pun sangat diharapkan dalam penanganan pembinaan seni tradisi.


2. Kepedulian masyarakat pendukungnya

Apabila diperhatikan tentang keberadaan seni pertunjukan secara kuantitas cukup mengembirakan. Akan tetapi secara kualitas kita cukup sering mengelus dada. Sebab sekarang banyak kita melihat berbagai jenis seni tradisi yang berjalan sudah tidak sesuai denagn pakemnya, tidak sesuai dengan aturannya, sehingga pertunjukan seni tradisi semakin tidak mempunyai “ruh”nya. Mereka cenderung berjalan semuanya sendiri, asalkan ia tetap laris, tetap disenangi penonton dan yang penting penontonnya juga ikut senang. Dengan demikian mereka sah-sah saja untuk berkreasi semuanya sendiri tanpa ada larangan.

Sampai sekarang, kita masih mendengar keluhan bahwa seni tradisi semakin tersingkirkan. Hal ini terjadi karena tidak lain, di satu sisi seni tradisi yang selama ini menjadi legimitasi atau simbol bagi bangsa yang beradab, dan disisi lain dianggap sakral, menjadi cair karena hanya bernilai sebagai seni hiburan saja. Bahkan hanya sekedar simbol atau sebagai pernik-pernik kehidupan belaka, sehingga masyarakat sendiri akan merasa kesulitan bagaimana memposisikan seni tradisi dalam dinamika global.

Dilihat dari animo masyarakat, seni tradisi yang semaki lama semakin sedikit penontonnya para pelaku seni tradisi hendaknya harus berani mengambil gebrakan atau inisiatif atau terobosan baru agar seni tradisi ini tetap diminati oleh masyarakatnya. Tentu saja terobosan ini tidak berhasil apabila tanpa ada dukungan dari masyarakat sebagai pemangku kebudayaan tersebut. Bagi masyarakat yang kehidupan sosial kulturalnya sangat kuat, maka keberadaan seni tradisi masih dapat tumbuh subur.



Sumber: http://aryadanisetyawan.blogspot.com/2011/11/fungsi-seni-pertunjukan-tradisional-di.html (dengan beberapa ubahan)

Senin, 07 April 2014

Kuda Lumping dari Masa ke Masa

Kuda Lumping juga disebut "Jaran Kepang" atau "Jathilan" adalah tarian tradisional Jawa menampilkan sekelompok prajurit tengah menunggang kuda. Tarian tradisional yang dimainkan secara ”tidak berpola” oleh rakyat kebanyakan tersebut telah lahir dan digemari masyarakat, khususnya di Jawa, sejak adanya kerajaan-kerajaan kuno tempo dulu. Awalnya, menurut sejarah, seni kuda lumping lahir sebagai simbolisasi bahwa rakyat juga memiliki kemampuan (kedigdayaan) dalam menghadapi musuh ataupun melawan kekuatan elite kerajaan yang memiliki bala tentara. Di samping, juga sebagai media menghadirkan hiburan yang murah-meriah namun fenomenal kepada rakyat banyak.

Dilihat dari cara permainannya, para penari kuda lumping seperti mempunyai kekuatan maha besar, bahkan terkesan memiliki kekuatan supranatural. Kesenian tari yang menggunakan kuda bohong-bohongan terbuat dari anyaman bambu serta diiringi oleh musik gamelan seperti gong, kenong, kendang dan saron ini, yang saat ini sudah dikombinasikan dengan alat musik modern seperi drum, ketipung, dan keyboard, ternyata mampu membuat para penonton terkesima oleh setiap atraksi-atraksi penunggang (penari) kuda lumping. 

Bunyi sebuah pecutan (cambuk) besar yang sengaja dikenakan para pemain kesenian ini, menjadi awal permainan dan masuknya kekuatan mistis yang bisa menghilangkan kesadaran si-pemain. Dengan menaiki kuda dari anyaman bambu tersebut, penunggan kuda yang pergelangan kakinya diberi kerincingan ini pun mulai berjingkrak-jingkrak, melompat-lompat hingga berguling-guling di tanah. Selain melompat-lompat, penari kuda lumping pun melakukan atraksi lainnya, seperti memakan beling dan mengupas sabut kelapa dengan giginya. 

Pada permainan kuda lumping, makna lain yang terkandung adalah warna. Adapun warna yang sangat dominan pada permaian ini yaitu; merah, putih dan hitam. Warna merah melambangkan sebuah keberanian serta semangat. Warna putih melambangkan kesucian yang ada didalam hati juga pikiran yang dapat mereflesikan semua panca indera sehingga dapat dijadikan sebagai panutan warna hitam. 

Sebagai sebuah atraksi penuh mistis dan berbahaya, tarian kuda lumping dilakukan di bawah pengawasan seorang ”pimpinan supranatural”. Biasanya, pimpinan ini adalah seorang yang memiliki ilmu ghaib yang tinggi yang dapat mengembalikan sang penari kembali ke kesadaran seperti sedia kala. Dia juga bertanggung-jawab terhadap jalannya atraksi, serta menyembuhkan sakit yang dialami oleh pemain kuda lumping jika terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan dan menimbulkan sakit atau luka pada si penari. Oleh karena itu, walaupun dianggap sebagai permainan rakyat, kuda lumping tidak dapat dimainkan oleh sembarang orang, tetapi harus di bawah petunjuk dan pengawasan sang pimpinannya. 

Sesuai dengan perkembangan jaman, kuda lumping tidak lagi dipertunjukkan dengan pemain yang kesurupan dan mendatangkan roh-roh halus. Bentuk tari kuda lumping jenis baru ini berkembang baik di beberapa tempat antara lain di Kabupaten Purworejo. Di sini kuda lumping sudah dikembangkan dengan kreasi-kreasi baru, sehingga gerak tari tidak lagi monoton. Para seniman dan seniwati dilatih dengan gerakan-gerakan baru yang dinamis dan indah sehingga dapat diterima oleh masyarakat luas. 

Dengan demikian kini ada dua jenis tari kuda lumping yang dapat dinikmati, yaitu yang mengutamakan gerak tari yang enak ditonton dan jenis yang mengutamakan penampilan kesurupan pada pemainnya. 

Kesenian jathilan yang merupakan cikal bakal tari kuda lumping tentu sangat berbeda dengan tarian yang ada sangat berbeda dengan tarian yang ada sekarang. Perbedaan tersebut tampak antara lain pada alat musik, bentuk kuda, busana penari dan sebagainya. Alat musik pada kesenian jathilan pada zaman dulu cukup dengan kendhang, bendhe, angklung dan gong. Sedangkan jathilan pada masa saat ini sudah banyak sekali tambahannya, antara lain demung, saron, kenong, drum, ketipung, kendhang jaipong, keyboard dan lain-lain. 

Demikian pula bentuk kuda lumping. Saat ini bentuk kuda lumping lebih mengutamakan keindahan, dan bentuknya dibuat lebih kecil dibandingkan dengan kuda pada jathilan zaman dulu. Busana penari juga berubah sesuai dengan kemajuan jaman. Kalau jaman dulu cukup berpakaian seadanya kini memakai kostum yang lengkap dan banyak sekali variasinya. 

Fungsi pertunjukan mengalami perubahan sangat nyata. Kalau dulu lebih banyak berfungsi sebagai pertunjukan yang diselenggarakan ketika berlangsung upacara tradisional, misalnya ketika berlangsung upacara bersih desa, kini lebih banyak berfungsi sebagai penyambutan tamu atau hiburan semata-mata. Dengan demikian pementasannya tidak lagi terikat oleh waktu dan tempat, tetapi dapat diselenggarakan di sembarang tempat. 

Bentuk pementasan kuda lumping juga sudah beraneka ragam dan disajikan sesuai dengan keperluan. Untuk kepentingan hari-hari besar atau pun keramaian desa sering dipentaskan kuda lumping dalam bentuk unit. Pemainnya terdiri dari tujuh hingga dua puluh satu orang. Dalam kegiatan yang lebih besar seperti peresmian proyek-proyek besar, sering dipentaskan dalam bentuk masal. Pemainnya biasanya terdiri dari dua puluh lima hingga seribu orang. 

Di samping itu dapat pula dipertunjukkan dalam bentuk pawai. Pemainnya cukup tujuh hingga dua puluh satu orang. Dalam bentuk pawai diperlukan gerakan-gerakan tertentu yang menarik perhatian bila akan melewati panggung kehormatan. 

Bentuk lainnya adalah bentuk sendratari. Bentuk seperti ini bisanya diselenggarakan di panggung atau gedung pertunjukkan. Cerita yang menjadi lakon dalam pertunjukan seperti ini biasanya lakon dari cerita Panji, yaitu lakon Panji Asmorobangun dan lakon Kelono Asmorodono. 

Seni rakyat kuda lumping yang semula hanya digemari oleh masyarakat Jawa kini mulai dikenal dan digemari oleh masyarakat luar Jawa. Jathilan yang sangat tradisional kemudian berkembang menjadi tari kuda lumping dengan kreasi baru, membuat kesenian ini menarik untuk dinikmati. Bahkan wisatawan asing pun menggemari. 

Kini, kesenian kuda lumping masih menjadi sebuah pertunjukan yang cukup membuat hati para penontonnya terpikat. Walaupun peninggalan budaya ini keberadaannya mulai bersaing ketat oleh masuknya budaya dan kesenian asing ke tanah air, tarian tersebut masih memperlihatkan daya tarik yang tinggi. Hingga saat ini, kita tidak tahu siapa atau kelompok masyarakat mana yang mencetuskan (menciptakan) kuda lumping pertama kali. Faktanya, kesenian kuda lumping dijumpai di banyak daerah dan masing-masing mengakui kesenian ini sebagai salah satu budaya tradisional mereka. Termasuk, disinyalir beberapa waktu lalu, diakui juga oleh pihak masyarakat Johor di Malaysia sebagai miliknya di samping Reog Ponorogo. Fenomena mewabahnya seni kuda lumping di berbagai tempat, dengan berbagai ragam dan coraknya, dapat menjadi indikator bahwa seni budaya yang terkesan penuh magis ini kembali ”naik daun” sebagai sebuah seni budaya yang patut diperhatikan sebagai kesenian asli Indonesia.

Satu hal yang harus kita waspadai bahwa Indonesia masih terus dijajah hingga sekarang dengan masuknya kebudayaan asing yang mencoba menyingkirkan kebudayaan-kebudayaan lokal. Oleh karena itu, kita sebagai generasi penerus bangsa bangkitlah bersama untuk mengembalikan kembali kebudayaan yang sejak dahulu ada dan jangan sampai punah ditelan zaman modern ini. Untuk itu, kepada pemerintah dan masyarakat diharapkan agar secara terus-menerus menelurusi kembali kebudayaan apa yang hingga saat ini hampir tidak terdengar lagi, untuk kemudian dikembangkan dan dilestarikan kembali nilai-nilai kebudayaan Indonesia.


Dikutip dengan beberapa perubahan dari: 
http://wayangkulitdankudalumping.blogspot.com/2011/07/asal-usul-tarian-kuda-lumping-jaranan.html
http://kebudayaanindonesia.net/id/culture/964/jatiran-jaran-kepang.html

Laras Kridho Manunggal dalam Festival Kuda Lumping di SAC Kutoarjo Jateng

Festival Kuda Lumping di Sumber Adventure Center (SAC) Kutoarjo pada hari Minggu, 24 November 2013
 Photo by Danang


SINOPSIS TARI KUDA LUMPING “LARAS KRIDHO MANUNGGAL”
DI SUMBER ADVENTURE CENTER KUTOARJO TAHUN 2013

Para prajurit Kelana Jayeng Kusuma bebidhalan menuju hutan belantara untuk melaksanakan bedhag pikat. Dalam perjalanan sesampainya di tengah hutan,  para prajurit dihadang oleh wadya gandharwa yang hendak memangsa para prajurit tersebut, sehingga terjadilah perang ageng. Namun, dengan kegigihan dan keterampilan berperang yang dimiliki oleh para prajurit, akhirnya wadya gandharwa bisa dikalahkan oleh prajurit Kelana Jayeng Kusuma.

Penari
·  Prajurit Kelana Jayeng Kusuma: Rahmadi, Chairil Anwar, Ain Heswanto, Galih, Adi Irawan
· Wadya Gandharwa: Fajar Prasetya Nugroho, Budi Prasetyo, Ahmad Fauzan, Muhaimin, Widi Atmoko.
Wiyaga
Widiyantoro, Danang Fajariyanto, Sugeng Budiman, Subarkah, Sidiq Munandar, Rahu Pamasa